Artikel kali ini akan membahas tentang Perjanjian Hudaibiyah, Bukti Kecerdasan Politik Nabi, Berkembangnya Islam sampai ke seluruh penjuru dunia, dan tetap bertahan sampai zaman sekarang ini, salah satu faktornya adalah kecerdasan sang pembawa risalah tersebut, yaitu Nabi Muhammad SAW.
Beliau adalah tokoh dengan karakter yang paling hebat. Bahkan Michael J Hart yang non muslim pun menempatkan beliau di urutan teratas dalam daftar 100 orang terhebat dalam buku karyanya.
Salah satu bukti kehebatan Nabi Muhammad SAW adalah peristiwa terjadinya Perjanjian Hudaibiyah, atau Shulhul Hudaibiyah.
Perjanjian Hudaibiyah adalah perjanjian antara Kaum Muslimin Madinah, dalam hal ini dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW, dengan kaum musyrikin Mekah.
Ini terjadi pada tahun ke-6 setelah beliau hijrah dari Mekah ke Madinah. Perjanjian ini terjadi di Lembah Hudaibiyah, berada di pinggiran Kota Mekah.
Pada saat itu rombongan Kaum Muslimin yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW hendak melakukan ibadah Haji. Namun mereka dihalang- halangi masuk ke Mekah oleh Suku Quraisy, penduduk Mekah.
Latar Belakang Terjadinya Perjanjian Hudaibiyah
Pada tahun 628 M/ 6 H. Ketika ibadah haji telah disyari’atkan, nabi beserta sekitar 1400 Muslim berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji bukan untuk berperang.
Karena itu mereka tidak membawa senjata. Rasulullah menyeru orang-orang Arab para penduduk desa yang berada di sekitar Madinah untuk keluar bersamanya, sehingga mereka menuju Makkah dalam jumlah yang banyak.
Sebab beliau khawatir jika orang-orang Quraisy akan menghalangi dan memerangi mereka sebelum tiba di Baitullah.
Tetapi banyak juga dari penduduk desa ini yang merespon panggilan ini dengan lambat bahkan menolaknya. Lalu beliau keluar bersama kaum Muhajirin, Anshor dan kabilah-kabilah Arab lainnya.[3]
Rasulullah juga membawa sejumlah hewan qurban, beliau membawa sekitar 700 unta, agar memberikan rasa aman bagi mereka bahwa umroh ini bertujuan untuk berziarah dan mengagungkan baitullah.
Walaupun begitu kaum Quraisy menyiagakan pasukannya untuk menahan Muslim agar tidak masuk ke Mekkah. Pada waktu itu, bangsa Arab benar benar bersiaga terhadap kekuatan militer Islam yang sedang berkembang.
Nabi Muhammad mencoba agar tidak terjadi pertumpahan darah di Makkah, karena Makkah adalah tempat suci.
Akhirnya kaum Muslim menyetujui inisiatif Nabi Muhammad, bahwa jalur diplomasi lebih baik daripada berperang. Kejadian ini dituliskan pada surah Al-Fath ayat 4 :
“Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”
Sesampainya rombongan di Dzul Hulaifah mereka berhenti untuk mendirikan sholat dan mulai mengenakan pakaian ihram.
Rasulullah memasang kalung di sejumlah leher binatang sebagai tanda bahwa binatang itu dipersiapkan untuk korban.
Rasulullah menugaskan Basar bin Sufyan al-Khuza’i melakukan kegiatan spionase (memata-matai) terlebih dulu di tengah-tengah pihak Quraisy, untuk mencari informasi tentang keadaan, sikap dan langkah mereka terhadap rombongan Rasulullah.[4]
Setelah rombongan sampai di Rauha, Rasulullah mendapat kabar bahwa musuh siap menyerang. Lalu beliau mengirim beberapa sahabat untuk memastikan hal itu. Rombongan kembali melanjutkan perjalanan.
Setibanya di Usfan mereka bertemu dengan Basar bin Sufyan al-Khuza’i, lalu ia melapor kepada Rasulullah bahwa orang-orang Quraisy telah mendengar kabar kedatangan beliau, kemudian mereka membawa anak istri keluar dari Makkah sambil bertekad untuk tidak mengizinkan beliau memasuki Makkah.
Sementara itu Kholid bin Walid dan tentaranya sudah menghadang di Kira’ al-Ghamim. Rasulullah bersama sahabat di Usfan mendirikan sholat Khauf, karena suasana yang genting di sana.[5]
Rasulullah langsung mengajak para sahabat bermusyawarah. Beliau mengusulkan untuk menyerang beberapa perkampungan yang bersekutu dengan Quraisy, agar mereka minta bantuan kepada Quraisy untuk mempertahankan wilayah dari serangan kaum muslimin.
Namun Abu Bakar mengingatkan Rasulullah kalau mereka pergi dengan tujuan untuk umroh bukan untuk berperang, bila nanti ada yang menghalangi maka terpaksalah ia dibunuh. Akhirnya Nabi Muhammad pun menyetujui usul ini.
Kemudian Rasulullah dan para sahabat mencari jalan lain di perjalanan untuk menghindari kontak fisik dengan pihak musyrikin. Setelah rombongan Rasulullah berhenti di Hudaibiyyah, maka terjadilah saling kirim mengirim utusan antara kaum muslimin dengan kaum musyrikin.
Tetapi Quraisy tampaknya masih keras kepala dan bersikukuh untuk tidak mengizinkan rombongan para sahabat memasuki Makkah. Mereka takut bila kaum muslimin berhasil masuk Makkah, orang-orang Arab akan mempergunjingkan kejadian ini.
Rasulullah kemudian ingin mengutus Umar bin Khattab namun diganti oleh Utsman bin Affan, karena Umar menunjukkan permusuhannya yang hebat terhadap Quraisy dan Quraisy mengetahui hal itu, di samping itu kaumnya yakni, Bani ‘Adi tak dapat melindunginya.[6]
Usman bin Affan tak lama kemudian pergi menemui para tokoh Quraisy setelah terlebih dahulu minta jaminan keamanan kepada Abban bin Sa’ad bin al-‘Ash al-Umawi.
Lalu dengan jaminan perlindungan itu ia menyampaikan maksud dan tujuan Rosululloh kepada tokoh-tokoh Quraisy. Utsman melakukan tugasnya dengan baik, sampai-sampai para tokoh Quraisy mempersilakannya thawaf di Masjidil Haram.
Tetapi Utsman menolaknya sebelum Rosululloh mendahului thawaf dulu sebelum dia tawaf di Masjidil Haram. Perkataan ini berakibat ia ditawan oleh Quraisy.[7] Keterlambatan Utsman kembali ke barisan kaum muslimin membuat sebagian kaum muslimin berkata bahwa Utsman telah mendahului mereka thawaf di Baitullah.
Namun Rosululloh dengan tegas menyatakan bahwa Utsman tidak akan melakukannya hingga kaum muslimin thawaf bersamanya.[8]
Maka terdengarlah isu bahwa Utsman terbunuh di tangan orang-orang Quraisy. Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam langsung mengumpulkan para sahabatnya untuk berbai’at di bawah sebuah pohon yang bernama Sammuroh.
Mereka semua berbai’at untuk membalaskan kematian Utsman sampai titik darah penghabisan.[9] Berkenaan dengan peristiwa tersebut Allah menurunkan surat al-Fath ayat 10, Allah berfirman :
“Bahwa orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka, maka barangsiapa melanggar janji, maka sesungguhnya dia melanggar atas (janji) sendiri; dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Dia akan memberinya pahala yang besar.”
Tetapi pada saat yang genting itu, tiba-tiba Utsman muncul kembali di tengah-tengah mereka, tepat setelah bai’at berlangsung.
Paska Bai’at tersebut dari pihak Quraisy mulai mengutus beberapa orang utusan untuk melakukan negosiasi dan perundingan dengan kaum muslimin. Sampai pada akhirnya datanglah Suhail bin Amru.
Terjadilah dialog yang panjang antara Suhail dan Rasulullah, akhirnya tercapailah kesepakatan atau perjanjian dari kedua belah pihak yang dikenal dengan Perjanjian Hudaibiyyah.[10] yang isinya adalah sebagai berikut :
“Keduanya telah sepakat untuk menghentikan perang selama 10 tahun, di mana dalam masa waktu tersebut orang-orang memperoleh keamanan serta sebagian mencegah diri untuk tidak melakukan penyerangan terhadap sebagian yang lain, dengan ketentuan bahwa siapa di antara orang-orang Quraisy yang datang ke pihak Muhammad tanpa memperoleh izin dari walinya, maka dia harus mengembalikanorang tersebut kepada mereka, dan siapa di antara pengikut Muhammad yang datang ke pihak Quraisy, maka Quraisy tidak berkewajiban mengembalikan orang itu kepadanya”.
“Dan sesungguhnya masing-masing pihak saling menahan diri, tidak boleh ada pencurian tersembunyi atupun penghianatan dan sesungguhnya barangsiapa ingin masuk dalam satu ikatan persekutuan dan perjanjian dengan Muhammad, maka dia boleh masuk ke dalamnya, dan barangsiapa lebih suka masuk dalam ikatan persekutuan dan perjanjian dengan Quraisy, maka dia bebas masuk ke dalamnya”.
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) harus balik meninggalkan kami tahun ini, dan jangan masuk Makkah dan sesungguhnya jika tahun depan tiba, kami akan keluar memberikan keleluasaan padamu bersama pengikutmu masuk Makkah, kemudian tinggal di sana selama tiga hari, dan untuk itu engkau boleh membawa senjata pengendara (pedang dalam sarungnya); dan jangan masuk dengan senjata lain selain itu”.
Faktor Yang Mendorong Dilakukannya Perjanjian Hudaibiyah
Kesediaan orang-orang Makkah untuk berunding dan membuat perjanjian dengan kaum muslimin itu benar-benar merupakan kemenangan diplomatik yang besar bagi umat islam.
Dengan perjanjian, harapan untuk mengambil alih Ka’bah dan Makkah sudah makin terbuka untuk merebut dan menguasai Makkah agar dapat menyiarkan Islam kedaerah-daerah lain, ini merupakan target utama beliau.
Ada dua faktor dasar yang mendorong kebijaksanaan ini yaitu :
- Makkah adalah pusat keagamaan bangsa Arab dan melalui konsolidasi ini, Islam bisa tersebar keluar.
- Apabila suku nabi sendiri dapat diislamkan, Islam akan mendapat dukungan yang kuat karena orang-orang Quraisy mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang besar.[11]
Tidak diragukan lagi bahwa Perjanjian Hudaibiyah adalah suatu kemenangan yang nyata. Sejarah pun mencatat bahwa isi perjanjian ini adalah suatu hasil politik yang bijaksana dan pandangan yang jauh, yang besar sekali pengaruhnya terhadap masa depan Islam dan masa depan orang-orang Arab itu semua.
Ini adalah yang pertama kali pihak Quraisy mengakui Muhammad, bukan sebagai pemberontak terhadap mereka, melainkan sebagai orang yang tegak sama tinggi duduk sama rendah.
Dan sekaligus mengakui pula berdirinya dan adanya kedaulatan Islam itu. Kemudian juga suatu pengakuan bahwa Muslimin pun berhak berziarah ke Ka’bah serta melakukan ibadah haji, bahwa Islam adalah agama yang sah diakui sebagai salah satu agama di jazirah itu.
Selanjutnya gencatan senjata yang selama sepuluh tahun membuat pihak Muslimin merasa lebih aman dari jurusan selatan tidak kuatir akan mendapat serangan Quraisy, yang juga berarti membuka kesempatan bagi Negara Islam Madinah untuk berkonsentrasi menyebarkan dakwah Islam ke arah utara Jazirah Arab.
Kenyataan lain adalah setelah persetujuan perletakan senjata itu dakwah Islam tersebar luas berlipat ganda lebih cepat daripada sebelumnya.
Hampir seluruh jazirah Arab, termasuk suku-suku yang paling selatan menggabungkan diri dalam Islam. Jumlah mereka yang datang ke Hudaibiyyah ketika itu sebanyak 1400 orang.
Tetapi dua tahun kemudian, tatkala Muhammad saw hendak membuka Mekah jumlah mereka yang datang sudah 10.000 orang.
Peristiwa-peristiwa yang telah terjadi tersebut membuktikan ketepatan kebijakan Rasulullah saw, Membuktikan pula bahwa ketika Rasulullah membuat Perjanjian Hudaibiyah Rasulullah saw telah meletakkan dasar yang kokoh sekali dalam kebijaksanaan politik dan penyebaran Islam.
Maka setelah terjadi negosiasi beberapa waktu, kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan perjanjian damai.
Sebelum terjadinya Perjanjian Hudaibiyah ini, Kaum Musyrikin Mekah bersama- sama dengan Kaum Yahudi Khaibar, dan suku- suku lain di sekitar Arab yang masih musyrik menyerang Madinah.
Ini dikenal dengan peristiwa Perang Ahzab atau Perang Khandaq. Usaha penyerangan tersebut gagal total dikarenakan mereka terhalang oleh benteng yang dibuat oleh Kaum Muslimin berupa parit.
Serta berkat bantuan dari Allah SWT beruapa badai yang sangat dingin yang menerpa pasukan musyrikin tersebut.
Perang ini dipandang sebagai akhir dari usaha Kaum Musyrikin Mekah untuk memerangi Kaum Muslimin Madinah.
Isi Perjanjian Hudaibiyah
Sedangkan isi dari Perjanjian Hudaibiyah tersebut menurut riwayat, intinya adalah:
- Gencatan senjata antara Mekah dengan Madinah selama 10 tahun.
- Bagi penduduk Mekah yang menyeberang ke Madinah tanpa izin walinya harus dikembalikan ke Mekah.
- Bagi penduduk Madinah yang menyeberang ke Mekah tidak boleh kembali ke Madinah.
- Bagi penduduk selain Mekah dan Madinah, dibebaskan memilih untuk berpihak ke Mekah atau Madinah.
- Pada saat itu Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya harus meninggalkan Mekah.
- Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya dipersilahkan kembali lagi ke Mekah setahun setelah perjanjian itu, dan akan dipersilahkan tinggal selama 3 hari dengan syarat hanya membawa pedang dalam sarungnya (maksudnya membawa pedang hanya untuk berjaga- jaga, bukan digunakan untuk menyerang). Dalam masa 3 hari itu kaum Quraisy (Mekah) akan menyingkir keluar dari Mekah.
Kerugian Perjanjian Hudaibiyah Bagi Umat Islam
Sekilas isi perjanjian tersebut sama sekali tidak menguntungkan bagi Kaum Muslimin, dan hanya menguntungkan kaum Quraisy Mekah. Ini bisa kita cermati satu persatu isinya:
- Gencatan senjata sudah tidak diperlukan oleh Kaum Muslimin, mengingat setelah Perang Ahzab/ Khandaq, Kaum Quraisy sudah putus asa dalam memerangi Kaum Muslimin. Dan itu dibuktikan bahwa mereka tidak berani memerangi Kaum Muslimin yang hendak datang ke Mekah.
- Jika penduduk Mekah tidak boleh menyeberang ke Madinah, jelas jumlah Kaum Muslimin tidak akan bertambah, sedangkan Kaum Quraisy tidak akan melemah.
- Jika penduduk Madinah yang pergi ke Mekah tidak diperbolehkan untuk kembali ke Madinah, tentu warga Madinah akan berkurang. Poin ini bisa disebut imbang.
- Kaum Muslimin yang sudah capek- capek menempuh perjalanan harus pulang tanpa tercapai tujuannya yaitu berhaji. Ini tentu sangat mengecewakan mereka. Ditambah lagi sebelumnya Nabi Muhammad SAW telah menyampaikan bahwa beliau bermimpi memasuki Mekah bersama- sama Kaum Muslimin dengan aman, dan mimpi beliau pasti terjadi. Jika ternyata apa yang beliau ucapkan tidak menjadi kenyataan, tentu akan menjadi pukulan bagi mereka. Terlebih berita tersebut sudah menyebar di kalangan kaum munafiq dan Kaum Yahudi. Jika mereka tahu, tentu Nabi Muhammad SAW dan Kaum Muslimin akan menjadi bahan ejekan oleh mereka.
- Diperbolehkannya untuk kembali lagi, dan hanya tinggal selama 3 hari, maka waktu 3 hari ini tidak cukup untuk melaksanakan ibadah Haji. Apalagi tidak diperkenankan menghunus pedang, maka ini adalah hal yang sangat merugikan.
Pada saat itu kondisi psikis Kaum Muslimin sangat tertekan. Mereka tidak percaya bahwa pemimpin mereka yang sangat cerdas mau menerima perjanjian itu begitu saja.
Bahkan Umar bin Khattab r.a sempat memprotes secara halus tentang isi perjanjian ini.
Bahkan ketika Nabi Muhammad SAW memerintahkan Kaum Muslimin untuk menyembelih hewan kurban yang telah mereka siapkan sebagai tanda berakhirnya ibadah Haji, tidak ada satupun yang melaksanakannya karena rasa heran lebih menguasai pikiran mereka.
Kalaulah bukan karena usul Ummu Salamah, istri Nabi Muhammad SAW, mungkin mereka akan tetap terpaku dalam keadaan seperti itu.
Namun ternyata Nabi Muhammad SAW mempunyai pandangan yang orang lain tidak mampu menangkapnya. Dan hal ini tidak pernah beliau beri tahukan kepada sahabat- sahabat beliau, bahkan kepada Abu Bakar r.a dan Umar r.a. Ini beliau lakukan demi menjaga rahasia strategi beliau.
Maka beliau membiarkan para sahabat dan Kaum Muslimin dalam keadaan seperti itu. Ternyata, setelah kemenangan Islam terjadi, kita bisa mengambil pelajaran bahwa paling tidak ada 2 hal penting yang beliau ambil dari Perjanjian Hudaibiyah tersebut:
Perjanjian ini ditandatangani oleh Kaum Quraisy dengan Suhail bin Amr sebagai wakilnya. Suku Quraisy adalah suku paling terhormat di daerah Arab, sehingga siapapun akan menghormati apa yang mereka tentukan.
Dengan penandatanganan perjanjian ini, maka Madinah diakui sebagai suatu daerah yang mempunyai otoritas sendiri. Jika Suku Quraisy telah mengakui, maka suku- suku lain pun pasti mengakuinya.
Dengan perjanjian ini, maka pihak Quraisy (Mekah) memberi kekuasaan kepada Madinah untuk menghukum mereka jika menyalahi perjanjian tersebut.
Ternyata sangat hebat konsekuensi dari perjanjian ini. Kaum Muslimin Madinah yang tadinya dianggap bukan apa- apa, sejak perjanjian itu dibuat bisa menghukum suku yang paling terhormat di Arab.
Perlu diketahui bahwa Islam melarang memerangi suatu kaum atau seseorang tanpa orang atau kaum tersebut melakukan kesalahan. Ini bisa dilihat dalam Al Qur’an Surat Al Hajj ayat 39- 40.
Maka dengan keuntungan yang didapat dari Perjanjian Hudaibiyah itu, Nabi Muhammad berusaha mengukuhkan status Madinah dengan cara mengutus berbagai utusan kepada pemimpin negara- negara tetangga, diantaranya Mesir, Persia, Romawi, Habasyah (Ethiopia), dan lain- lain.
Selain itu beliau juga menyebar pendakwah untuk menyebarkan Agama Islam.
Kemudian dengan dijaminnya Quraisy tidak akan memusuhi Kaum Muslimin, maka Kaum Muslimin bisa dengan leluasa menghukum Kaum Yahudi Khaibar yang telah mendalangi penyerangan terhadap Kaum Muslim Madinah dalam Perang Ahzab/ Khandaq.
Ini yang beliau lakukan sehingga Kaum Yahudi pun di kemudian hari tidak berani lagi mengganggu Madinah.
Dalam pada itu, Nabi Muhammad SAW tahu betul karakter orang- orang Mekah. Beliau yakin bahwa mereka akan melanggar perjanjian itu sebelum masa berlakunya selesai. Dan itu benar- benar terjadi.
Maka ketika Bani Bakr yang menyatakan berpihak kepada Quraisy dan didukung beberapa tokoh Quraisy diantaranya Ikrima bin Abu Jahal menyerang Bani Khuza’ah yang menyatakan memihak Madinah, Nabi Muhammad segera menyiapkan rencana untuk menghukum Kaum Quraisy.
Dan pada akhirnya, terjadilah penaklukan Mekah tanpa perlawanan berarti dari penduduk Mekah.
Maka tepatlah ketika Kaum Muslimin kembali dari Hudaibiyah, dalam perjalanan turun Surat Al Fath (Kemenangan)….
إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِينًا
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata”. Allahu a’lam bishshawab.
Simak juga video Perjanjian hudaibiyah berikut:
Simak juga video Perjanjian hudaibiyah berikut:
Faedah Perjanjian Hudaibiyah
Adapun manfaat dari perjanjian hudaibiyah, antara lain:
- Bebas dalam menunaikan agama Islam.
- Tidak ada teror dari Quraisy.
- Mengajak kerajaan-kerajaan luar seperti Ethiopia-afrika untuk masuk Islam.
- Terhindar dari pertumpahan darah antara kaum Quraisy dengan kaum muslimin.
- Menjadi faktor utama pembuka mekkah.
- Sebagai dasar yang kokoh dalam politik penyebaran Islam.
- Nabi mempunyai kesempatan yang lebih leluasa dalam mengkonsolidasikan masyarakat Islam.
- Nabi mempunyai waktu yang leluasa untuk lebih memfokuskan perhatian pada penyebaran Islam kepada kabilah-kabilah Arab lainnya.
- Mengajak kepada raja-raja dan kaisar-kaisar untuk memeluk Islam dengan cara mengirimkan surat-surat kepada penguasa-penguasa tersebut, seperti kepada Kisra sebagai raja Persia dengan utusan Abdulloh bin Khudzafah, kepada Heraclius penguasa Romawi dengan utusan Dihyah bin Khalifah Al-Kalbi, kepada Mauquqis raja Mesir dengan utusan Khatab bin Abi Balti’a, kepada Najasyi raja habsyah dengan utusan Amr bin Umayyah Add-Dhamri, kepada Al-Harits Al-Ghassani di Syam, dan raja Amman pemilik Yamamah, serta Al-Mundzir sebagai hakim Bahrain. Seluruhnya surat Nabi berjumlah 105 buah surat.
Sumber : AL-HASANIYYAH